PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

Impor Rektor, Pendidikan Semakin Error

Padang - Wacana perekrutanrektor asing kembali digulir semenjak tahun 2016 sempat terhenti karena memperoleh penolakan dari berbagai pihak. 


Tanamonews.com l M. Nasir selaku Ketua Kemenristekdikti mengatakan alasannya mendatangkan rektor asing guna meningkatkan PTN agar bisa menembus peringkat 100 besar dunia yang selama ini dinilai masih berada pada posisi stagnan yakni pada peringkat 296 jika mengacu pada QS World University Rank. (DetikNews, 1/8/2019)

Nasir mengungkap rencana ini juga sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo secara lisan dan juga sudah disetujui. Saat ini ia tengah mempersiapkan regulasi untuk mendatangkang rektor asing semacam peraturan pemerintah, peraturan menteri, serta tata kelola dan ditargetkan rampung pada th 2020. (BeritaSatu, 2/8/2019)

Selain itu, impor rektor asing yang diwacanakan oleh Menristekdikti juga menuai kontroversi dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian meminta Nasir mengkaji ulang rencana mengundang rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi (PTN) di Indonesia. Ia khawatir ini jadi preseden merekrut presiden asing. (Beritagar, 1/8/2019)

Fahri Hamzah yang mejabat sebagai wakil ketua DPR RI juga tak menyetujui rencana impor asing ini. Ia berpendapat seharusnya pemerintah memiliki konsep yang jelas dalam meningkatkan kualitas dan ranking perguruan tinggi. Ia juga menilai kemenrisdikti terkesan lepas tangan dari tugas dan tanggung jawabnya. (Kompas,31/7/2019)

Pro dan kontra terkait wacana impor asing ini patut dijadikan bahan sorotan. Mengingat pendidikan mempunyai andil besar dalam mecerdaskan kehidupan bangsa yang berkualitas terkhususnya di perguruan tinggi. 

Namun, sekiranya sudah sepatutnya melihat jauh kedepan, sebab, impor rektor asing ini terkesan parsial dan pragmatis. Menristekdikti sampai sejauh ini belum menyinggung aspek-aspek lain, seperti ekosistem akademik yang kondusif, dukungan pemberdayaan dosen dan mahasiswa dalam bidang riset, sarana dan prasarana yang mendukung.

Indonesia beberapa tahun belakangan memang selalu dibanjiri produk impor. Mulai dari bahan pangan seperti bawang, jagung, beras dan semacamnya, tak luput jua bahan material semacam baja yang digunakan sebagai bahan bangunan insfrakstruktur terutama baja dari china. 

Hingga saat ini, walau belum direalisasikan¸ rektor asing juga tak luput untuk diundang sebagai pimpinan sebuah perguruan tinggi. Tentu ini merupakan momok yang menakutkan, sebab pendidikan bukan benda mati, ia juga bukan hanya sekedar transfer of knowledge dan membangun talatenta, tapi pendidikan menyangkut bagaimana membentuk karakter SDM indonesia kedepannya.

Impor rektor asing yang digaung-gaungkan dalam rangka menciptakan iklim kompetitif antar civitas akademika terutama dalam kancah internasional tentu mempunyai niak baik. 

Tetapi yang menjadi persoalannya, apakah mesti menitipkan otoritas kekuasaan kepada Asing dalam memimpin perguruan tinggi? Apakah bangsa Indonesia yang berpenduduk 264 juta jiwa lebih ini sudah kekurangan stock orang-orang cerdas yang berkompeten? 

Apakah tidak ada lagi para akademisi berkualitas yang mampu menjadi rektor? Apakah menganggap diri inlander? dengan bermental inferiori terhadap diri sendiri?

Jika jawabanya untuk memudahkan hubungan rektor asing dengan dunia luar yang sudah memiliki koneksi internasional. Lalu kemudian pertanyaan selanjutnya, dimana peran pemerintah selama ini dalam memajukan dunia pendidikan tinggi? Apakah ini yang dinamakan “lempar batu nunjuk orang”? apakah menyerahkan seutuhnya kepada Asing untuk memajukan pendidikan tinggi bisa dapat menjadi jaminan?

Persoalan rektor asing bukan hanya sebatas ia nantinya mengelola secara manajerial. Namun ini menyangkut budaya dan karakter bangsa indonesia yang memiliki religiusitas yang telah tertanam sejak dahulunya oleh para tokoh besar dan para ulama. 

Bukan tidak mungkin, bila asing menjadi rektor, dominasi budaya barat yang tidak selaras dengan budaya religiusitas bangsa indonesia bisa dengan mudah masuk. Pelarangan cadar dibeberapa kampus, diskusi keislaman yang digelar mahasiswa, symbol-symbol Islam dan semua ini kerapkali dimonsterisasi sebagai embrio radikalisme dan intoleran oleh sebagian oknum birokrasi didunia kampus. 

Dapat dikhawatirkan, oknum yang tidak bertanggung jawab bisa menstir asing untuk membuat kebijakan mengekang sebuah keyakinan dalam berpikir dan bertindak. 

Menarik apa yang disampaikan Rektor UIII Komarudin Hidayat “Bagaimana intelektual berbicara demokrasi sedangkan dikampus sendiri tidak berdemokrasi” ujarnya saat menjadi pembicara di MetroTv (5/8/2019).

Spekulasi demi spekulasi bisa saja muncul bila Asing sudah duduk diposisi sentral, terutama pimpinan perguruan tinggi. Terlebih krean MEA sudah dibuka, persaingan global antar negara sudah dibuka seluas-luasnya. 

Tidak menutup kemungkinan persaingan ini terjadi secara tidak sehat. Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha bisa saja terjadi. Sebetulnya fakta yang sudah-sudah cukup membuktikan, tertutama Krakatau Steel milik BUMN terancam bangkrut oleh monovuer produk dari China. 

Bukankah ini bentuk penjajahan secara halus? Dan sekarang dalam dunia pendidikan, kekuatan domestik dalam negeri yang memiliki potensial yang bisa dikembangkan dapat saja ditendang dalam arus persaingan!

Indonesia sekarang berada ditengah-tengah kekuatan politik global, kapitalisme barat dan China. Walau kedua kekuatan ini sama-sama memiliki perbedaan namun keduanya juga memiliki persamaan yakni Kapitalisme yang berorientasi pada metrealistik.

Kapitalisme adalah ideologi yang tidak mengindahkan nilai-nilai spritual untuk mengatur tata sosial masyarakat, apalagi mengatur tata kelola perguruan tinggi. 

Nah, bila Asing yang kemudian memanajemen sebuah perguruan tinggi, apakah tidak mungkin dominasi nilai- asing akan mudah disusupi? Bukankah dalam mengelola negara dan aset-asetnya, para Founding Fathers telah mengajarkan bahwa kita hanya akan meniru teknik (cara/mahdaniyah) namun tidak menjiplak tata nilai atau pandangan hidup (Hadharah) Asing? Apalagi sebagai pimpinan, ini adalah sebuah ironi.

Semestinya menristekdikti sadar betul akan hal ini. Berhubung ia memiliki keuatan politik sektoral. Semestinya, selain untuk memajukan perguruan tinggi dalam mencapai rangking, ia mestinya paham bahwa yang dibutuhkan negeri ini bukan hanya sebatas rangking. 

Namun lebih mengarah bagaimana pendidikan dapat dienyam oleh berbagai kalangan, memudahkan akses pengetahuan, sarana dan prasarana yang memungkinan untuk berlansungnya pembelajaran, lebih dari itu bagaimana kedepannya membangun karakter bangsa Indonesia yang memiliki nilai religislitas yang tinggi untuk membangun peradaan unggul, beradab dan bertaqwa. Sebab, apa artinya rangking, bila moral terjun bebas! (1n/T4n).



Posting Komentar

0 Komentar

.com/media/




Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza