PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Dan Filosofi Bungo Lado Budaya Minangkabau

Tanamonews | Berita boikot produk-produk negara Perancis berseliweran di media massa dan media sosial untuk menunjukkan dukungan protes kepada pemerintah Perancis yang membuat pernyataan Sara dan diskriminatif tentang Islam dan keagungan Nabi Muhammad SAW. Kesalah-pahaman tentang Islam ini tentunya tidak akan terjadi apabila seseorang berusaha untuk memahami konsep teologis masyarakat muslim di seluruh dunia, terutama tentang penghormatan kepada nabi Muhammad SAW.

Melalui bulan Maulid ini, yang merupakan bulan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, biasanya dirayakan pada sebagian besar masyarakat Muslim dunia dalam balutan-balutan budaya yang sangat unik dan beragam, kita mencoba untuk merenungi setiap nilai-nilai yang terdapat dalam simbol-simbol budaya perayaan Maulid, terutama dalam masa pandemic covid -19 ini, dimana setiap kegiatan yang mengundang kumpulan manusia tidak diperkenankan. Pandemi telah menyatukan kita dalam kesamaan perubahan gaya hidup, beragama, bersosialisasi dan sebagainya, tapi tidak secara bersama-sama.

Islam adalah agama yang sangat terbuka terhadap ruang dan waktu serta semangat merespon segala permasalahan sudah banyak dicontohkan oleh Baginda Rasul dengan para sahabatnya. Puasa asy- Syuro dan menghormati tamu contohnya, merupakan dialog Islam dengan budaya lokal. Bahkan ketika jaman Umar RA, banyak ijtihad yang dilakukan sebagi respon permasalahan Negara kota Madinah yang diadopsi oleh negara-negara modern sekarang; Lembaga pemasayarakatan, atthoriif (pembayaran resmi memasuki/ keluar dari suatu daerah) menjadi tarif, ad-Diwan (kantor keuangan) menjadi duane. Meluasnya penyebaran agama Islam menyerap budaya-budaya lokal untuk ditauhidkan menjadikan permasalahan Islamisasi budaya atau budayanisasi Islam menjadi sesuatu yang tidak penting diperdebatkan kembali. Akulturasi dan asimilasi antara Islam dan budaya menyentuh hampir di seluruh lini kehidupan; Teologi, epistimologi, budaya/ kesenian, arsitektur, tata ruang, kuliner dan sebagainya.

Setiap muslim mepunyai kewajiban untuk berdakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik. Masuknya Islam ke Indonesia, baik yang dibawa langsung oleh para penyiar agama Islam, maupun oleh para pedagang, bukanlah masuk ke suatu daerah yang hampa kepercayaan, dan hampa kebudayaan. Islam masuk ke Indonesia sudah ada peradaban dan kepercayaan para leluhur nenek moyang yang sudah bersinkritisasi dengan Hindu dan Budha. Memiliki sistim kepercayaan, tata kehidupan bermasyarakat yang sudah mapan. 

Para penyiar agama Islam dan para pedagang Muslim yang datang dari negara-negara yang berbeda kultur sangat mengerti benar bagaimana cara berkomunikasi agar Islam sebagai rahmatan lil’alamiin bisa tersampaikan dengan baik. Edward Depari menyatakan bahwa, komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan dengan maksud mencapai kebersamaan/ common (Widjaja,2000), artinya bahwa dakwah Islam  agar bisa dipahami harus melalui lambang-lambang dan simbol-simbol yang bisa dimengerti oleh masyarakat Indonesia.

Masyarakat Minang adalah masyarakat yang sudah berbudaya, memiliki kebudayaan yang khas, mempunyai ukuran tingkah laku dan pandangan hidup, pandangan terhadap alam semesta dan pandangan yang Maha Kuasa (Transenden). Tingkah laku dan pandangan hidup itu diekspresikan dengan menggunakan simbol dan lambang-lambang. George Ritzer yang dikutip Ali Mandan (1985) menyebutkan bahwa simbol dapat dianggapa sebagai gambaran kelihatan dari realitas transenden, dalam pemikiran logis dan ilmiah. Simbol-simbol ini sangat diperlukan guna agar agar individu maupun masyarakat mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat. Gantang dibodi caniago, cupak dijadikan kasukatan, adaik mamakai syarak mangato, ujuik satu balain jalan. Tujuan adat dan agama (Islam) sama-sama mencapai kehidupan yang baik, berbahagia di dunia dan akherat kelak.  

Para penyebar agama Islam maupun pedagang muslim yang masuk ke Minangkabau berpegang pada kaidah ushul fiqh yang menyatakan “At-Tadrij fi at-Tasyri‟ bahwa pemberlakuan hukum Islam itu harus bertahap, dan juga “Musayarah bi mashalih an-nas” yaitu bahwa penerapan hukum Islam harus sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Para penyebar agama Islam menggunakan kebudayaan yang ada di masyarakat, dengan memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk digubah dengan menyisipkan nilai-nilai tauhid, sehingga Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘aalamiin bisa diterima oleh masyarakat Indonesia dengan sangat damai. Ibnu Khaldun menulis “Suatu masyarakat akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, terutama apabila sesuatu yang baru itu bertentangan dengan tradisi yang ada”

Seperti dikatakan di atas, Minangkabau sebelum Islam dating sudah ada agama Hindu dan Budha, dan sebelumnya adalah animisme dan dinamisme. Dalam beberapa catatan sejarah, dikatakan bahwa Hindu sudah ada di Minangkabau sejak abad ke-lima, sementara Budha sejak abad ke-tujuh. Hindu yang masuk adalah Hindu Brahmana, sedangkan Budha yang masuk pada abad ke tujuh adalah Budha Hinayana, lalu disusul Budha Mahayana. Hindu dan Budha tidak begitu bisa diterima oleh masyarakat Minang, karena masyarakat Minang adalah masyarakat yang egaliter, dimana masyarakatnya lebih mementingkat musyawarah, dan adat, bukannya diperintah oleh Raja (Kahilia jalan ka Sumani, sasimpang jalan ka Singkarak, saukua mangko menjadi, sasuai mangkoa takanak). Kerajaan Pagaruyungpun tidak berdiri lama, dan tidak bisa menyiarkan Hindu dan Budha ke masyarakat Minangkabau.

Islam datang ke Minangkabau menyerap budaya lokal yang baik, ditauhidkan dan kemudian menjadi produk budaya yang sangat indah, penuh dengan nilai-nilai yang sangat baik, yang dikemas dalam simbol-simbol yang sangat universal. Peran tarekat, terutama Tarekat Syatariyah, yang lebih mementingkan kebersihan hati,  yang dibawa para penyebar agama Islam, serta kearifan para penyebar agama Islam yang sangat alim selain berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Hadits, juga kepada Ijma untuk menjaga persatuan dan qiyas (tamsil). Dengan qidah ushul fiqh “al-‘Adah Muhakkamah” bahwa kebiasaan juga bisa menjadi hukum dan al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah yaitu melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai yang baru yang lebih baik lagi, maka para penyebar agama Islam di Minangkabau mengambil adat kebiasaan yang baik yang kemudian diberi niai-nilai tauhid serta membuat kebudayaan yang baru yang lebih baik.

Rasa gembira menyambut kedatangan Rasulullah sebagai rahmat bagi alam semesta diungkapkan dalam berbagai upacara keagamaan yang dibalut dengan kebiasaan adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Minang pra Islam seperti gotong royong, saling membantu dan memperhatikan satu sama lain, saling bermusyawarah  yang dalam bahasa Ferdinand Tonnies adalah masayarakat Gemenschaft, lalu dikemas dalam suatu upacara yang bernama Bungo Lado. Jadi sesungguhnya Bungo Lado itu adalah simbul-simbul Budaya Minangkabau yang berakar dari nilai-nilai luhur masyarakat itu sendiri, yang digunakan untuk menyebarkan Islam dan menumbuh kembangkan kecintaan seorang Muslim kepada Rasulnya dengan cara membantu dan memperhatikan sesamanya, saling bersilaturahmi, hidup rukun yang sesungguhnya sama dengan ajaran Islam. Karena rasa pedas, atau cabai mempunyai peranan yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau, maka para penyiar Islam membuat upacaranya kemudian diberi nama Bungo Lado. 

Sebelum acara Bungo Lado, biasanya diadakan Badikia, yaitu nyanyian yang berisi syair seputar kelahiran Nabi Muhammad SAW dan dilantunkan ketika perayaan hari kelahiran Nabi. (Yusriwal: 1998)

Sebeneranya Badikia ini juga merupakan musyawarah masyarakat untuk menentukan peringatan Maulid Nabi Bungo Lado dengan segala aktifitasnya.

Wali jorong: “kami ucapkan tarimokasi kapado niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai suluah bendang dalam nagari ka pai tampek batanyo ka 18 pulang tampek babarito dan sagalo nan sarato hadir malam nangko untuak manakok hari acara mauluik kito nan katibo”.

‘Wali jorong: Kami ucapkan terimakasih kepada ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai suluah bendang dalam nagari, pergi tempat bertanya pulang tempat memberi kabar dan kepada semua yang hadir pada malam ini untuk menentukan acara maulid kita yang akan datang’.

Perhatikanlah Badikia di atas, yang sangat menjunjung tinggi musyawarah dan penghormatan kepada ninik-mamak, alim ulama dan cadiak pandai sebagai adab yang sangat tinggi. “suluah bendang dalam nagari ka pai tampek batanyo ka pulang tampek babarito’ Ninik Mamamk, Alim Ulama dan Cendikiawan adalah tempat bertanya.

Adapun Bungo Lado sendiri adalah upacara dengan cara setiap warga yang mampu untuk turut serta salam pembangunan rumah ibadah, dengan cara menaruh uang semampunya di ranting pohon untuk kemudian di bawa ke surau, lalu diserahkan untuk pembangunan rumah ibadah. Ibu-ibunya juga memasak untuk makan bersama serta berbagi kebahagiaan kepada sesame karena telah lahir Nabi akhir jaman pembawa kabar gembira.

Oleh Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina


Posting Komentar

0 Komentar

.com/media/




Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza