PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

RUU Cipta Kerja Dinilai Belum Lindungi Masyarakat Hukum Adat


Tanamonews | RUU Cipta Kerja justru memperumit pengakuan dan perlindungan berbagai hak atas tanah terkait masyarakat hukum adat karena berbagai frasa/kata atau istilah yang berbeda-beda.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat. Pasalnya, RUU Cipta Kerja yang disusun menggunakan metode omnibus law ini menyasar banyak sektor yang berdampak bagi masyarakat banyak. 

Salah satunya, menyasar masyarakat hukum adat yang mulai gusar lantaran RUU Cipta Kerja dianggap belum menjamin dan melindungi hak-haknya. Bahkan, malah menambah persoalan baru bagi masyarakat hukum adat.

“RUU ini tidak memanfaatkan momentum, saya berharap RUU Cipta Kerja mampu mengurangi ego sektoral. RUU ini memperjuangkan haknya (masyarakat hukum adat) malah semakin rumit,” ujar Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kurnia Warman dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (10/3/2020).

Dia menilai masyarakat hukum adat seolah menjadi “tertuduh” sebagai penghambat investasi dan cipta kerja (stigma). Dia berharap “tuduhan” tersebut dapat dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Selain itu, RUU Cipta Kerja tidak memiliki niat mengatur perlindungan masyarakat hukum adat.

“Bisa dilihat dari isinya tidak membereskan disharmoni pengaturan masyarakat hukum adat. Jadi tidak ada yang bisa diharapkan,” kata Kurnia. Baca Juga: Diusulkan Klaster Ketenagakerjaan Dicabut dari RUU Cipta Kerja

Menurutnya, ada ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat yang dilanggengkan dalam RUU Cipta Kerja. Akibatnya, masyarakat hukum adat rentan menjadi korban perampasan tanah hanya demi kepentingan investasi. 

Selain itu, RUU Cipta Kerja tak dapat diharapkan dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah/lahan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang sering merugikan masyarakat hukum adat.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitass Gadjah Mada (UGM) Ricardo Simarmata menilai terdapat pasal yang membatasi secara rigid definisi masyarakat hukum adat. Seperti, Pasal 18 angka 2 RUU Cipta Kerja yang mensyaratkan  masyarakat hgukum adat harus memiliki kelembagaan.

RUU Cipta Kerja pun mempertahankan syarat pengakuan masyarakat hukum adat sesuai peraturan perundang-undangan. Padahal, peraturan perundang-undangan mengatur syarat yang rigid untuk pengakuan masyarakat adat. Misalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan kepentingan nasional.

Dia melihat terdapat sejumlah masalah dalam pengaturan yang berhubungan dengan wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, penggunaan beberapa frasa “hak ulayat” tanpa disertai definisi pada ketentuan umum. 

Kedua, penggunaan frasa “hak ulayat” yang definisinya berbeda dari yang diatur konstitusi ataupun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012.

Misalnya, dalam pasal terkait UU No.17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Menurutnya, dalam ketentuan umumnya, hak ulayat hanya didefinisikan sebagai “kewenangan yang memanfaatkan.” 

Padahal, hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya termasuk kewenangan mengatur dan menguasai.

Ketiga, kewenangan yang terbatas bagi masyarakat hukum adat. Keempat, meskipun terdapat sejumlah pasal yang seolah melindungi kepentingan masyarakat hukum adat, tapi tak menyelesaikan perampasan wilayah adat akibat konflik penguasaan tanah dan SDA. Kelima, peengaturan wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja masih sangat sektoral.

“Hal ini menciderai semangat penghargaan hak tradisional masyarakat hukum adat yang harusnya bersifat holistik,” katanya.

Deputi Riset dan Advokasi Perkumpulan HuMa Indonesia Erwin Dwi Kristianto mengatakan berdasarkan hasil riset dan kajian lembaganya, terdapat 23 frasa masyarakat hukum adat dalam RUU Cipta Kerja. 

Kemudian 10 frasa kearifan lokal, 3 frasa hak ulayat; 2 kata tradisional, 2 frasa wilayah adat; 2 frasa wilayah kelola masyarakat hukum adat.

Selanjutnya, 1 frasa desa adat, 4 frasa tak hak ulayat, 2 frasa tanah ulayat, 1 frasa lahan hak ulayat; 1 frasa tanah milik adat, 1 frasa hak milik adat, 1 frasa kawasan adat, dan 3 frasa bangunan gedung adat. 

Persoalannya, perbedaan frasa-frasa tersebut karena berbagai UU sectoral telah diubah oleh RUU Cipta Kerja.

“Penyebutan istilah yang berbeda tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. RUU ini tidak memanfaatkan momentum untuk mengurangi ego sektoral pengelolaan sumber daya alam dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. 

Justru penyebutan frasa tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan investasi,” ujarnya.

Menurutnya, dibalik alasan percepatan berinvestasi dan upaya menyelesaikan tumpang tindih regulasi, RUU Cipta Kerja justru memperumit pengakuan dan perlindungan berbagai hak atas tanah, khususnya terkait masyarakat hukum adat karena berbagai frasa/kata atau istilah yang berbeda-beda. 

“RUU Cipta Kerja juga tidak memperjelas tata cara pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat di Indonesia,” katanya. (Rofiq Hidayat*1n)

Posting Komentar

0 Komentar

.com/media/




Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza