Tanamonews.com - Di tepian Danau Maninjau, di sebuah nagari bernama Bayua, lahirlah seorang anak Minang yang kelak dikenal karena ketegasan dan keberaniannya: Kaharuddin Datuak Rangkayo Basa (1906–1981).
Ia bukan hanya seorang perwira polisi, tapi juga tokoh yang dipercaya memimpin Sumatera Barat pada masa paling genting dalam sejarahnya.
Dari OSVIA ke Dunia Kepolisian
Sejak muda, Kaharuddin menempuh pendidikan di OSVIA Bukittinggi, sekolah calon pamong praja zaman Belanda. Tahun 1932, ia mulai berkarier di kepolisian Hindia Belanda, dan lima tahun kemudian menerima gelar adat Datuak Rangkayo Basa, tanda bahwa masyarakat mengakui wibawa dan ketokohannya.
Menyebarkan Kabar Proklamasi dan Mendirikan Kepolisian RI di Sumatera
Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, Sumatera belum sepenuhnya mendengar kabar itu. Kaharuddin bersama para tokoh setempat bergerak cepat menyebarkan berita proklamasi hingga pelosok daerah.
Sebagai perwira senior, ia juga menjadi salah satu perintis utama struktur Kepolisian Republik Indonesia di Sumatera Tengah — fondasi penting bagi keamanan negara yang baru lahir.
Menolak Pemberontakan, Menegakkan Kedaulatan
Tahun 1956, saat gelombang ketidakpuasan daerah melahirkan Dewan Banteng, Kaharuddin ikut mendukung tuntutan otonomi daerah. Namun ketika Dewan Banteng berubah arah menjadi gerakan separatis PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada 1958, ia mengambil sikap tegas — menolak dan melawan pemberontakan.
Langkah itu bukan tanpa risiko. Ia harus berhadapan dengan banyak tokoh sebangsa di tanah sendiri. Tapi bagi Kaharuddin, kesetiaan kepada Republik adalah harga mati.
Gubernur Pertama di Tengah Badai
Sebagai wujud kepercayaan pemerintah pusat, Kaharuddin ditunjuk menjadi Koordinator Sipil, lalu diangkat sebagai Gubernur pertama Sumatera Barat pada 17 Mei 1958, setelah wilayah itu resmi berpisah dari Sumatera Tengah.
Dalam masa penuh gejolak itu, ia berhasil membangun dasar pemerintahan provinsi, menetapkan Padang sebagai ibu kota, dan menjaga stabilitas di tengah arus politik yang tak menentu.
Kesederhanaan Seorang Pemimpin
Kaharuddin wafat pada 1 April 1981 di Padang. Hingga akhir hayatnya, ia tetap rendah hati — bahkan menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, dan memilih peristirahatan sederhana di pemakaman umum.
Langkah terakhirnya ini mencerminkan falsafah Minang sejati: “Kebesaran bukan untuk diagungkan, tapi untuk dijalankan dengan rendah hati.”







0 Komentar