PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

Kemerdekaan, Pendidikan Dan Al-Qiraa’Ah Al-Rasyiidah

TANAMONEWS - Dulu, ketika kecil (1971-1977), sepulang dari Sekolah Dasar (SD), siangnya kami belajar di Madrasah Roudlotul Hasanah, di Cawang Kapling, Jakarta Timur. Sebuah madrasah mungil, kecil, tapi penuh dengan limpahan cinta dan kasih sayang terutama dari KH Abdurahman yang biasa kami panggil dengan “Kong Emang” dan ustadz Sholeh, atau biasa kami panggil dengan “Cing Oleh”. 

Oleh: Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina.

Masih ada ustadz-ustadz lainnya yang saya masih ingat yang biasa kami panggil dengan sebutan Abang atau Bang, seperti bang Obi untuk ustadz Qurtubi, bang Ibak sebutan untuk ustadz Bakhtiar, Bang Otib untuk menyebut nama ustadz Chotib,  dan ustadz-ustadz lainnya, yang mengajarkan kami dengan penuh ketulusan dan cinta. 

Selain alim dan sangat baik, ustadz-ustadz kami sangat pandai bercerita, apalagi kalau ustadz Sholeh (Cing Oleh) bercerita, seolah-olah apa yang diceritakannya benar-benar hadir di depan mata kita, dan membuat imajinasi kita melayang-layang ikut terlibat dalam dalam peristiwa yang diceritakannya.

Ketika kelas IV SD, saya sangat senang, karena bacaan saya dari buku Mutholaah biasa dinaikan menjadi buku al-Qiraah al-Rasyidah, sebuah buku pembelajaran bahasa Arab yang ditulis oleh Abul Hasan Ali Nadwi, seorang pendidik, pemikir dan mujadid besar Islam dari India. 

Isi bukunya yang sangat bagus, karena banyak pelajaran dan inspirasi hidup, ditambah dengan gaya cerita ustadz kami, bang Obi yang menerangkan isi buku sangat memikat, sehingga ada beberapa isi buku ini yang masih melekat dalam ingatan hingga sekarang. Ada al-midzya (Radio), al-Hariiq (kebakaran), ithalqut thuyyuur (melepaskan burung) dan lain-lainnya. 

Tapi yang paling berkesan buat saya adalah cerita tentang Singa yang sombong dengan seekor tikus yang menyelamatkannya dia dari jebakan pemburu (Asadul wal fa’ru). Di akhir cerita, bang Obi berkata “ Makanye, kite kagak boleh ngeledek atawa menghina orang-orang yang punya kekurangan kaya (seperti) orang bodoh, orang miskin, orang cacat, pokoknye semua deh, karena segala sesuatu ntu ada kelebihan dan kekurangannya”

Tahun 1994, beredar film Amerika yang menjadi box office dan perbincangan dimana-mana. Film ini menjadi perbincangan ramai, bukan karena artistiknya saja yang bagus dan berhasil menyabet enam(6) Academy Awards (penghargaan film tertinggi di AS), atau soundtrack filmnya terjual lebih dari 12 juta copy, tetapi lebih dari itu semua yang sangat menarik adalah isi ceritanya yang sangat menginspirasi kita untuk melihat manusia sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. 

Film ini berhasil menggambarkan seorang pria bodoh dari Alabama yang bernama Forrest Gum (diperankan sangat ciamik oleh Tom Hanks) yang mempunyai IQ 75, berhasil dan sukses dalam menjalani hidupnya, bahkan bisa menyelesaikan studinya di universitas dengan sangat baik.  Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh Winston Groom (1986) ini spiritnya adalah sama dengan cerita Asadu wal fa’ru dalam buku al-Qiraa’ah al-Rasyiidah, yaitu jangan pernah menghina, membully, memarjinalkan orang-orang yang terlihat bodoh, terlihat miskin, atau cacat.

“Janganlah menghina orang yang lebih rendah darimu, karena segala sesuatu itu memiliki kelebihannya masing-masing/ walikulli syaiin maziyyah” Demikian pesan/ jawaban tikus kepada singa di akhir cerita seperti menampar kesadaran kita sebagai manusia dalam berhubungan dengan sesama makhluk Allah.

Dalam berkehidupan sosial, dimana saja dan kapan saja, sepertinya nasihat tikus kepada Singa sang Raja Hutan dalam asadu wal fa’ru masih sangat relevan. 

Dalam bermasyarakat dan bernegara, betapa banyak masyarakat kelas bawah dianggap sepele oleh kita, dimarjinalkan, dan dipandang sebelah mata, padahal masyarakat kelas bawah sangat dimuliakan oleh baginda Nabi Muhammad SAW, karena doanya bisa langsung menembus langit, diijabah oleh Allah SWT tanpa ada hijab yang membatasinya. 

Pernahkah kita berprasangka bahwa bangsa dan negara ini masih tegak berdiri karena bisa disebabkan oleh doa-doa mereka? Doa yang mengalir bersama dengan tetesan air mata dan keringat mereka, berdesah beriringan dengan dengan desahan penderitaan mereka. 

Dalam dunia pendidikan-pun demikian. Teramat banyak manusia yang tadinya kita pandang sebelah mata akhirnya sangat besar jasanya bagi hidup dan peradaban manusia. Thomas Alva Edison, Einstein atau Leonardo da Vinci adalah sebagian kecil contoh manusia-manusia yang terkucilkan oleh sistim pendidikan mainstream pada saat itu, yang akhirnya keluar sebagai pemenang dalam kehidupan. 

Ada yang kita lupakan dan itu jarang sekali diseminarkan dan diwebinarkan, padahal hal tersebut merupakan inti dan kunci suksesnya suatu pendidikan yaitu “Cinta”. 

Dengarkanlah kekuatan cinta ini pinta seorang sufi Jalaludin Rumi:

Karena cinta duri menjadi mawar

Karena cinta cuka menjelma anggur segar

Karena cinta keuntungan menjadi mahkota penawar

Karena cinta kemalangan menjelma keberuntungan

Karena cinta penjara tampak bagaikan kedai mawar

Karena cinta api yang berkobar menjelma cahaya yang menyenangkan

Karena cinta syetan berubah menjadi bidadari

Karena cinta batu keras berubah menjadi lembut bagaikan mentega

Karena cinta duka menjadi riang gembira

Karena cinta hantu berubah menjadi malaikat

Karena cinta singa tak akan menakutkan

Karena cinta amarah menjadi ramah

Segala sesuatu haruslah dimulai dari diri sendiri, “Ibda binafsika” kata baginda Rasulullah SAW. Awalilah cinta itu dengan cinta kepada diri kita sendiri yaitu merubah sesuatu yang tidak baik menjadi baik, kurang baik menjadi lebih baik, tidak ada menjadi ada, menggali potensi kebaikan diri kita menjadi actus (nyata). Tidak ada yang tidak mungkin apabila cinta sudah bersemai di dalam diri kita.

Rasulullah berhasil merubah peradaban umat manusia dari dzlumaati (kegelapan) kepada An-Nur (englightment) karena Rasulullah telah merasakan nikmat dan manisnya cinta Tauhid itu dalam diri sendiri dulu, baru kemudian menawarkan kelezatan cinta Tauhid kepada keluarga, sahabat dan manusia lainnya.

Pendidikan tidak akan mungkin berhasil apabila kita para pendidik dan orang tua tidak merubah mindset (cara berpikir) kita dalam mereposisi diri kita dalam menghadapi murid serta lingkungan yang selalu berubah. Bukankah yang tetap itu adalah perubahan itu sendiri. Murid kita adalah makhluk Allah yang unik, diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan, maka lihatlah mereka dengan cara sebagai manusia yang unik, yang tersembunyi kelebihan di antara kekuarang yang nampak, atau terselip kekurangan di antara kelebihan yang nampak.

Dampingi mereka, karena mereka adalah anak-anak masa depan, dimana kerja dan doa mereka  akan menentukan nasib kita kelak. Cintai mereka dengan penuh cinta, sehingga mereka tumbuh menjadi mawar yang menyerebakkan harum di antara bunga yang warna warni. Mereka adalah para bidadari mungil yang sedang belajar terbang, berjalan, berenang, memanah dan sebagainya kitalah para ahlinya yang diciptakan Tuhan untuk mendampingi mereka. Tugas kita hanya mendampingi bukan mengajarkan, karena yang mengajar mereka adalah Allah sang pemilik pengetahuan. 

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia bagi guru-guru seluruh Indonesia. Mari merdekakan diri kita untuk merdekakan anak-anak meraih masa depannya.(*)

Posting Komentar

0 Komentar

.com/media/




Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza