Oleh: Sarafuddin, S.Pd.,M.Pd
Dosen
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Universitas Slamet Riyadi
Tanamonews.com - Anak-anak kita hari ini tumbuh di era serba cepat, di mana kecerdasan kognitif dianggap segalanya. Nilai rapor, hasil ujian, dan prestasi akademik sering menjadi tolok ukur utama keberhasilan pendidikan. Namun di balik deretan angka itu, ada sesuatu yang pelan-pelan memudar yaitu karakter. Kita mungkin sedang mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi rapuh secara moral.
Di sekolah, anak-anak diajarkan cara menghitung dengan cepat, namun jarang
diajarkan cara berempati. Mereka pandai menjawab soal logika, tapi sering gagap
ketika dihadapkan pada situasi sosial yang menuntut kejujuran, sopan santun,
dan tanggung jawab. Apakah ini berarti kita mulai melupakan esensi sejati
pendidikan?
Pendidikan
karakter bukan hal baru dalam wacana pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara
sudah menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah upaya menumbuhkan cipta, rasa,
dan karsa, bukan sekadar mengisi otak. Namun dalam praktiknya, pendidikan
karakter sering kali hanya menjadi slogan dalam kurikulum, bukan napas dalam
keseharian sekolah.
Guru sibuk
mengejar target materi. Sekolah sibuk menyiapkan siswa menghadapi ujian. Orang
tua sibuk memastikan anaknya juara kelas, bukan juara dalam kebaikan. Akibatnya,
anak-anak kehilangan ruang untuk belajar tentang kejujuran, empati, kerja sama,
dan rasa hormat. Padahal nilai-nilai itu adalah fondasi dari masyarakat yang beradab.
Perkembangan teknologi membawa banyak manfaat, tapi juga tantangan besar bagi pendidikan karakter. Anak-anak sekarang tumbuh di dunia digital yang menyediakan informasi tanpa batas, namun juga memunculkan budaya instan dan egoisme sosial. Kita melihat fenomena cyberbullying, ujaran kebencian, hingga kecenderungan anak mencari validasi dari “like” dan “followers.”
Nilai moral yang dulu diajarkan
lewat interaksi langsung kini tergantikan oleh layar. Sekolah dan keluarga
sering kali kalah cepat dalam menanamkan nilai sebelum dunia maya mengambil
alih peran itu. Oleh karena itu, pendidikan karakter di era digital harus
menyesuaikan diri yaitu dengan tidak melarang teknologi, tapi membekali anak
dengan kebijaksanaan menggunakannya.
Tidak ada pendidikan karakter yang berhasil tanpa sinergi antara guru dan orang tua. Guru bisa menanamkan nilai di kelas, tapi tanpa dukungan di rumah, semua itu akan cepat luntur. Begitu pula sebaliknya: orang tua yang menanamkan nilai di rumah, tapi lingkungannya tidak mendukung, akan mudah kehilangan arah. Yang dibutuhkan adalah konsistensi nilai.
Jika di sekolah anak diajarkan untuk jujur, maka di rumah mereka tidak boleh
melihat orang dewasa memanipulasi kenyataan. Jika di kelas mereka diajarkan
saling menghargai, maka di rumah mereka juga harus menyaksikan komunikasi yang
penuh hormat. Karakter tidak bisa diajarkan lewat ceramah, namun harus
dicontohkan.
Pendidikan
karakter bukan berarti menambah jam pelajaran agama atau budi pekerti. Yang dibutuhkan adalah budaya sekolah yang hidup dari nilai-nilai. Sekolah
harus menjadi ruang aman di mana anak-anak belajar berbuat baik tanpa takut
salah, belajar memimpin tanpa menindas, dan belajar berpendapat tanpa
merendahkan.
Program
sederhana seperti kerja bakti, proyek sosial, mentoring antarsiswa, dan
refleksi harian bisa menjadi cara efektif untuk menumbuhkan nilai moral dan
empati. Lebih dari itu, setiap guru, petugas sekolah, hingga kepala sekolah
harus menjadi teladan nilai yang ingin ditanamkan. Karakter tidak tumbuh dari
modul, melainkan dari teladan dan kebiasaan.
Bangsa yang maju bukan hanya karena cerdasnya generasi muda, tapi karena karakter kuat yang menopang kecerdasan itu. Kita tidak bisa terus mengukur kesuksesan pendidikan dari nilai akademik semata, tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk kepribadian anak. Pendidikan yang hanya mencerdaskan tanpa memanusiakan akan melahirkan generasi yang pandai mencipta, tapi juga pandai merusak.
Sebaliknya, pendidikan yang menumbuhkan karakter akan melahirkan
manusia yang tak hanya pintar, tapi juga bijak, berintegritas, dan berempati. Karena
pada akhirnya, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh berapa banyak anak kita
bisa menjawab soal, tetapi seberapa banyak dari mereka mau berbuat baik.







0 Komentar