PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

“SI BUTA” MENCARI “ORANG HILANG”

Oleh: Robby Octora Romanza 

(Wartawan Utama/Pimred Tanamonews.com)

Tanamonews.com - Di tengah duka bencana yang merendam sebagian besar Pesisir Selatan, muncul satu tontonan ironi dari panggung media sosial. Ketika ribuan warga berjuang menyelamatkan diri dari banjir, ketika pemerintah dan relawan berjibaku menembus hujan dan arus deras, sekelompok netizen justru sibuk mencari—bukan korban, bukan bantuan, tetapi mencari “orang hilang” yang sebenarnya tidak pernah hilang. Mereka dengan penuh selera humor kelas rendahan memajang foto Bupati Pesisir Selatan dan Anggota DPR RI Lisda Hendrajoni, dengan tulisan: “Dicari Orang Hilang, jika ditemukan harap antarkan ke posko bencana terdekat.” Satire murahan yang menunjukkan satu hal: betapa “si buta” bisa benar-benar kehilangan arah dalam membaca kenyataan.

Ironisnya, para “pencari orang hilang” ini bukan sedang kehilangan informasi, melainkan kehilangan akal sehat. Sebab fakta paling sederhana pun tidak mereka lihat—atau mungkin sengaja mereka tutupi. “Bunda Lisda”, sapaan akrab kami kepada Lisda Hendrajoni, sudah berada di Pesisir Selatan sejak tanggal 27 September 2025, bahkan memaksakan diri pulang dari kunjungan kerja di Arab Saudi demi menjemput duka masyarakatnya. Namun bagi mereka yang sudah gelap mata, kehadiran itu tetap dianggap ketiadaan. Karena bagi si buta, terang sekalipun tetap tampak gelap.

Saat mendapatkan laporan tentang banjir, Bunda Lisda langsung memutus agenda di Timur Tengah. Meski jetlag, meski tubuhnya setengah mual, sesaat setelah mendarat di Soekarno-Hatta beliau langsung bergegas menuju penerbangan berikutnya ke Padang—di tengah cuaca ekstrem pula. Pesawat yang beliau tumpangi bahkan harus berputar beberapa kali di langit Padang karena hujan deras menghalangi pendaratan. Itu bukan sekadar perjalanan, itu pertaruhan nyawa. Namun bagi “si buta”, semua itu tetap tak terlihat.

Begitu mendarat, masih terengah menahan letih perjalanan panjang, Bunda Lisda menelepon saya. Pesanannya sederhana tapi sangat berarti: “Tolong pesankan 1.000 nasi bungkus, Rob.” Ia tak bertanya apakah dirinya lelah, ia tak meminta istirahat. Yang ia pikirkan pertama kali adalah perut warga yang sejak siang belum tersentuh makanan. Tetapi bagi mereka yang sudah dibutakan kebencian, kepedulian itu tidak lebih dari angin yang lewat.

Di jalan menuju Pesisir Selatan, tantangan berikutnya menanti. Jalan Padang—Painan terputus akibat luapan sungai. Kendaraan tidak bisa lewat. Di lokasi itu pula pada tahun 2024 lalu, antrean panjang disapu air bah. Saat Bunda Lisda terjebak di titik yang sama, rasa was-was kami memuncak. Namun beliau tetap memilih melanjutkan perjalanan dengan mobil tinggi, menembus air setinggi pinggang orang dewasa. Alhamdulillah, selamat. Tetapi bagi “si buta”, keberanian itu tetap tidak terlihat.

Sesampainya di Pesisir Selatan, tim relawan telah menunggu. Banjaran nasi bungkus seribu porsi langsung dibagikan malam itu juga. Hujan turun, tanah berlumpur, arus air masih mengalir. Namun Bunda Lisda tetap turun langsung di Nagari Jinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, menyerahkan bantuan kepada masyarakat yang sudah kelaparan sejak siang. Di air selutut, beliau berdiri. Di bawah gerimis, beliau menyapa. Di tengah dingin, beliau menguatkan warga. Tapi bagi “si buta”, semua itu tetap tidak terlihat.

Malam itu, tiga kecamatan dikunjungi: Tarusan, Bayang, dan IV Jurai. Tiga kecamatan di malam yang sama. Sementara sebagian netizen sibuk membuat meme dan hinaan dari balik selimut hangat rumah masing-masing. Mereka mengetik kebencian dengan jari yang kering, tanpa tahu ada seseorang yang sedang basah kuyup, menggigil, dan tetap berjalan dari titik ke titik untuk membantu masyarakatnya.

Sesampai di rumah kediaman, dalam kondisi basah dari kepala hingga kaki, Bunda Lisda menyempatkan melihat para relawan yang sibuk menyiapkan paket sembako untuk keesokan hari. Namun pada akhirnya tubuhnya menyerah, terkulai karena kelelahan hebat dan jetlag. Itu manusiawi. Tetapi bagi “si buta”, bahkan kemanusiaan pun tidak bisa dilihat.

Keesokan harinya beliau kembali turun lapangan. Batang Kapas, Lengayang, Sutera. Tidak berhenti. Tak cukup hanya itu, beliau mengajak BNPB RI—mitra kerjanya di Komisi VIII DPR RI—turun langsung ke wilayah terisolasi di Bayang Utara. Beliau mendesak percepatan penanganan, mendesak penetapan status bencana nasional untuk Sumbar, Sumut, dan Aceh. Namun bagi “si buta”, semua itu tetap tidak terlihat.

Tidak hanya Pesisir Selatan, Bunda Lisda juga meninjau korban banjir di Kota Padang, Padang Pariaman, serta menggerakkan relawan DPD NasDem di kabupaten/kota lainnya. Koordinasi dengan BNPB dan Kementerian Sosial dilakukan setiap hari, bahkan setiap jam. Kadang dini hari. Kadang tengah malam. Tapi bagi “si buta”, semua itu tetap tidak terlihat.

Sementara itu, Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni berada di Jakarta untuk menghadiri pertemuan resmi dengan Kemendagri dan kepala daerah se-Indonesia. Pada tanggal 26 November beliau telah memesan tiket untuk pulang, namun dibatalkan karena harus mengikuti Rakor tingkat menteri terkait penanganan banjir di tiga provinsi. Namun bagi yang tak mengenal tata pemerintahan, absennya seorang bupati dari lokasi bencana dianggap sebagai “menghilang”. Padahal perintah penting justru ia keluarkan dari meja nasional.

“Pak HJ” tidak tinggal diam. Ia menginstruksikan seluruh jajaran Pemkab bergerak. Wakil Bupati Risnaldi Ibrahim turun sejak hari pertama. Evakuasi dilakukan di 11 kecamatan. Penyaluran MBG dialihkan untuk warga terdampak. Bupati memantau, mengarahkan, memastikan kehadiran pemerintah. Namun bagi “si buta”, upaya itu tetap tidak terlihat.

Begitu rapat koordinasi selesai, Pak HJ langsung bertolak ke Soekarno-Hatta dan melanjutkan penerbangan ke Padang-Pariaman. Dalam perjalanan darat menuju Pesisir Selatan, beliau berhenti di Duku Utara setelah melihat rumah-rumah warga terendam. Saat itu juga ia memberikan 500 paket sembako pribadi. Tapi bagi “si buta”, itu tetap tidak terlihat.

Pertanyaannya sederhana: siapa sebenarnya yang hilang? Apakah Bunda Lisda? Apakah Bupati Hendrajoni? Atau justru akal sehat sebagian netizen yang hilang?

Karena jika kacamata kebencian telah dipasang, maka mata tidak lagi melihat. Telinga tidak lagi mendengar. Hati tidak lagi merasa. Yang tersisa hanya prasangka dan kepuasan untuk mencaci. Inilah yang terjadi ketika “si buta” mencari “orang hilang” yang sebenarnya sedang berada tepat di depan mata.

Ketika para pemimpin berjalan di tengah air banjir, mereka bilang “hilang.”

Ketika pemimpin itu terjebak di jalan banjir, mereka bilang “tidak peduli.”

Ketika pemimpin itu menyerahkan bantuan, mereka bilang “pencitraan.”

Ketika pemimpin itu berkoordinasi dengan pusat, mereka bilang “kabur.”

Aneh tapi nyata: bagi “si buta”, semua yang terlihat justru dianggap tidak ada.

Fenomena ini bukan baru. Fanatisme politik, dendam lama, dan kebiasaan memelintir fakta adalah racun yang membuat sebagian orang kehilangan empati. Mereka menolak melihat bukti, karena mereka tidak ingin keyakinan mereka terganggu oleh kenyataan. Mereka memilih berprasangka daripada berpikir. Dan mereka memilih membully daripada membantu.

Padahal, di tengah bencana, yang dibutuhkan adalah kolaborasi, bukan fitnah. Yang diperlukan adalah doa, bukan hinaan. Warga yang kehilangan rumah tidak kenyang dengan meme. Anak-anak yang kedinginan tidak hangat dengan komentar pedas. Dan relawan yang berjibaku tidak butuh sorakan sinis dari penonton pasif di balik layar smartphone.

Bunda Lisda tidak pernah meminta untuk difoto ketika menembus banjir. Bupati Hendrajoni tidak meminta tepuk tangan ketika memerintahkan jajaran bergerak. Mereka bekerja karena itu tugas mereka. Karena masyarakat membutuhkan mereka. Karena nyawa tidak bisa menunggu notifikasi media sosial.

Namun, bagi sebagian orang, kenyataan pahit selalu kalah dibanding narasi favorit mereka. Mereka lebih senang percaya pada kebohongan yang memuaskan ego ketimbang kebenaran yang menuntut kejujuran. Mereka buta terhadap kerja keras, tapi mampu melihat kesalahan yang bahkan tidak ada.

Maka lahirlah sindiran ini: “Si buta” sedang mencari “orang hilang.” Dan pencarian itu akan berlangsung selamanya, karena masalahnya bukan pada orang yang dicari, tetapi pada mata yang tidak mampu melihat.

Bencana telah memperlihatkan dua wajah manusia: mereka yang bekerja tanpa suara, dan mereka yang berteriak tanpa kerja. Mereka yang memikul tanggung jawab, dan mereka yang memikul kebencian. Mereka yang berjalan di lumpur, dan mereka yang sibuk di kolom komentar.

Pada akhirnya, sejarah tidak ditulis oleh jari-jari yang hobi menghina. Sejarah ditulis oleh langkah-langkah orang yang bekerja. Dan di tengah bencana Pesisir Selatan, jejak itu sudah sangat jelas. Bagi yang mampu melihat Bunda Lisda dan Bupati Hendrajoni tidak pernah hilang. Yang hilang adalah kewarasan sebagian netizen. Dan untuk itu, “pencarian masih panjang.” (bee)

Posting Komentar

0 Komentar





Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza