PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

Pintar Tapi Tak Santun: Ketika Pendidikan Karakter Mulai Ditinggalkan Sekolah

 

Oleh: Sarafuddin, S.Pd.,M.Pd

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Slamet Riyadi

 

Tanamonews.com - Anak-anak kita hari ini tumbuh di era serba cepat, di mana kecerdasan kognitif dianggap segalanya. Nilai rapor, hasil ujian, dan prestasi akademik sering menjadi tolok ukur utama keberhasilan pendidikan. Namun di balik deretan angka itu, ada sesuatu yang pelan-pelan memudar  yaitu karakter. Kita mungkin sedang mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi rapuh secara moral.

Di sekolah, anak-anak diajarkan cara menghitung dengan cepat, namun jarang diajarkan cara berempati. Mereka pandai menjawab soal logika, tapi sering gagap ketika dihadapkan pada situasi sosial yang menuntut kejujuran, sopan santun, dan tanggung jawab. Apakah ini berarti kita mulai melupakan esensi sejati pendidikan?

Pendidikan karakter bukan hal baru dalam wacana pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara sudah menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah upaya menumbuhkan cipta, rasa, dan karsa, bukan sekadar mengisi otak. Namun dalam praktiknya, pendidikan karakter sering kali hanya menjadi slogan dalam kurikulum, bukan napas dalam keseharian sekolah.

Guru sibuk mengejar target materi. Sekolah sibuk menyiapkan siswa menghadapi ujian. Orang tua sibuk memastikan anaknya juara kelas, bukan juara dalam kebaikan. Akibatnya, anak-anak kehilangan ruang untuk belajar tentang kejujuran, empati, kerja sama, dan rasa hormat. Padahal nilai-nilai itu adalah fondasi dari masyarakat yang beradab.

Perkembangan teknologi membawa banyak manfaat, tapi juga tantangan besar bagi pendidikan karakter. Anak-anak sekarang tumbuh di dunia digital yang menyediakan informasi tanpa batas, namun juga memunculkan budaya instan dan egoisme sosial. Kita melihat fenomena cyberbullying, ujaran kebencian, hingga kecenderungan anak mencari validasi dari “like” dan “followers.” 

Nilai moral yang dulu diajarkan lewat interaksi langsung kini tergantikan oleh layar. Sekolah dan keluarga sering kali kalah cepat dalam menanamkan nilai sebelum dunia maya mengambil alih peran itu. Oleh karena itu, pendidikan karakter di era digital harus menyesuaikan diri yaitu dengan tidak melarang teknologi, tapi membekali anak dengan kebijaksanaan menggunakannya.

Tidak ada pendidikan karakter yang berhasil tanpa sinergi antara guru dan orang tua. Guru bisa menanamkan nilai di kelas, tapi tanpa dukungan di rumah, semua itu akan cepat luntur. Begitu pula sebaliknya: orang tua yang menanamkan nilai di rumah, tapi lingkungannya tidak mendukung, akan mudah kehilangan arah. Yang dibutuhkan adalah konsistensi nilai.

Jika di sekolah anak diajarkan untuk jujur, maka di rumah mereka tidak boleh melihat orang dewasa memanipulasi kenyataan. Jika di kelas mereka diajarkan saling menghargai, maka di rumah mereka juga harus menyaksikan komunikasi yang penuh hormat. Karakter tidak bisa diajarkan lewat ceramah, namun harus dicontohkan.

Pendidikan karakter bukan berarti menambah jam pelajaran agama atau budi pekerti. Yang dibutuhkan adalah budaya sekolah yang hidup dari nilai-nilai. Sekolah harus menjadi ruang aman di mana anak-anak belajar berbuat baik tanpa takut salah, belajar memimpin tanpa menindas, dan belajar berpendapat tanpa merendahkan.

Program sederhana seperti kerja bakti, proyek sosial, mentoring antarsiswa, dan refleksi harian bisa menjadi cara efektif untuk menumbuhkan nilai moral dan empati. Lebih dari itu, setiap guru, petugas sekolah, hingga kepala sekolah harus menjadi teladan nilai yang ingin ditanamkan. Karakter tidak tumbuh dari modul, melainkan dari teladan dan kebiasaan.

Bangsa yang maju bukan hanya karena cerdasnya generasi muda, tapi karena karakter kuat yang menopang kecerdasan itu. Kita tidak bisa terus mengukur kesuksesan pendidikan dari nilai akademik semata, tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk kepribadian anak. Pendidikan yang hanya mencerdaskan tanpa memanusiakan akan melahirkan generasi yang pandai mencipta, tapi juga pandai merusak. 

Sebaliknya, pendidikan yang menumbuhkan karakter akan melahirkan manusia yang tak hanya pintar, tapi juga bijak, berintegritas, dan berempati. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh berapa banyak anak kita bisa menjawab soal, tetapi seberapa banyak dari mereka mau berbuat baik.

Posting Komentar

0 Komentar





Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza