Tanamonews.com, Padang - Ketua DPRD Kota Padang, Muharlion, mengapresiasi langkah ninik mamak Kaum Suku Tanjuang Kenagarian Pauh Limo dalam mengambil kebijakan. Langkah ninik mamak Kaum Suku Tanjuang Kenagarian Pauh Limo menjadikan tanah pusako sebagai lokasi relokasi sementara bagi anak kemenakan yang rumahnya hanyut diterjang banjir bandang Kota Padang, pada 28 November 2025 dini hari.
Menurut Muharlion, keputusan para ninik mamak tersebut merupakan kabar istimewa di tengah upaya Pemerintah Kota Padang yang masih mencari lokasi ideal untuk relokasi korban banjir bandang. “Keputusan ninik mamak menjadikan tanah pusako sebagai lokasi relokasi merupakan kabar yang sangat menggembirakan, di saat pemerintah masih menghadapi kendala ketersediaan lahan,” ujar Muharlion saat meninjau Hunian Sementara (Huntara) bagi 11 kepala keluarga (KK) Kaum Suku Tanjuang di Kampuang Talang RT 03/RW 04, Kelurahan Kapalo Koto, Kecamatan Pauh, Kamis, 25 Desember 2025.
Lokasi Huntara tersebut tidak jauh dari rumah asal para korban banjir di Jalan Koto Tuo Kenagarian Pauh Limo, tepatnya di sekitar oprit Jembatan Batu Busuk. Kawasan yang sebelumnya permukiman itu kini telah berubah menjadi badan sungai pascabanjir bandang. Muharlion menilai lokasi Huntara cukup aman karena berada jauh dari alur sungai Batu Busuk yang kerap meluap setiap kali hujan deras mengguyur hulu sungai di gugusan Bukit Barisan.
Dalam peninjauan tersebut, Ketua DPRD Padang itu mengaku bangga karena nilai-nilai kekerabatan Minangkabau masih terpelihara dengan baik di tengah Kaum Suku Tanjuang. Para ninik mamak, anak kemenakan, hingga urang sumando tampak bergotong royong membangun Huntara dari material kayu dan sisa rumah yang hanyut diterjang banjir. “Inisiatif Kaum Suku Tanjuang Pauh Limo ini adalah contoh nyata bagaimana nilai adat dan kearifan lokal mampu menjadi solusi atas persoalan sosial yang kompleks,” kata Muharlion.
Ia menegaskan, langkah yang diambil para tokoh adat tersebut layak dijadikan teladan oleh daerah lain di Kota Padang dalam menghadapi kondisi darurat pascabencana. “Pendekatan berbasis budaya ini sangat efektif dalam mengatasi persoalan keterbatasan lahan yang selama ini menjadi kendala utama pemerintah dalam relokasi korban bencana. DPRD Padang mendukung dan mengapresiasi penuh inisiatif mandiri ini,” ujarnya. Muharlion menjelaskan, keberadaan Huntara Mandiri tersebut terwujud melalui kolaborasi inisiatif warga yang dipelopori Dasrul, dukungan para donatur, serta peran struktur adat.
Hal paling krusial adalah kesediaan mamak Kaum Suku Tanjuang menyediakan lahan khusus, tidak hanya untuk Huntara, tetapi juga untuk hunian tetap (Huntap). Bahkan, lahan tersebut disebut siap dihibahkan kepada Pemerintah Kota Padang agar memiliki payung hukum yang kuat dalam membangun hunian permanen bagi 11 KK korban banjir. “Aspirasi terkait kekhawatiran tanah pusako menjadi hak milik urang sumando setelah dihibahkan akan menjadi perhatian serius kami di DPRD,” tegas Muharlion.
“Kami akan membahasnya secara khusus dengan wali kota dan pihak terkait agar proses hibah tidak menimbulkan persoalan dalam tatanan adat. Kita paham, tanah pusako di Minangkabau dikuasai oleh kaum perempuan,” tambahnya. Ia menilai, pendekatan melalui ninik mamak dan pemuka adat merupakan solusi inspiratif di tengah sulitnya mencari lahan relokasi, terlebih lebih dari 300 warga di Kecamatan Pauh terdampak banjir bandang.
“Langkah Kaum Suku Tanjuang ini mampu memangkas birokrasi pengadaan lahan yang biasanya memakan waktu lama. Kita butuh solusi cepat karena masih ada ratusan warga yang menunggu kepastian tempat tinggal,” ujar Muharlion optimistis. Saat berdiskusi dengan Mamak Kapalo Warih Kaum Suku Tanjuang, Usar Rajo Kacik, kekaguman Muharlion semakin bertambah. Pasalnya, Huntara yang dibangun dari sisa material rumah dan donasi tersebut dirancang tidak mengganggu rencana pembangunan Huntap oleh pemerintah. “Mamak Rajo Kacik telah merancang tanah pusako menjadi kaplingan lengkap dengan fasilitas umum,” jelas Muharlion.
“Masing-masing kapling memiliki luas seragam 7x14 meter dengan jalan selebar lima meter,” tambahnya. Di atas lahan seluas 98 meter persegi tersebut, Huntara dibangun di bagian belakang kapling. Nantinya, saat Huntap dibangun oleh pemerintah, posisinya berada di bagian depan. “Ketika Huntap sudah berdiri, Huntara bisa dialihfungsikan sebagai dapur atau ruang pendukung lainnya. Artinya, donasi yang ada tetap termanfaatkan,” ujarnya. Menurut Muharlion, kearifan ninik mamak Kaum Suku Tanjuang Pauh Limo beserta visi jangka panjangnya layak dijadikan model ideal oleh pemerintah dalam merancang Huntara dan Huntap korban banjir bandang. “Model ini bahkan telah saya diskusikan dengan Sekretaris Utama BNPB, Pak Rustian, dan beliau mendukung penuh pola seperti ini,” ungkapnya.
Dengan memanfaatkan tanah pusako, korban banjir tetap berada di lingkungan sosial yang telah mereka kenal sejak lama. Secara sosial dan ekonomi, masyarakat pun dapat kembali beraktivitas tanpa harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Kepedulian pada Anak Kemenakan. Kaum Suku Tanjuang Pauh Limo di bawah arahan Usar Rajo Kacik mengambil langkah cepat dan inovatif untuk mengatasi persoalan lahan relokasi. Anak kemenakan yang sebelumnya tinggal di tenda pengungsian kini telah menempati Huntara dan dapat beraktivitas lebih layak. “Kami tidak ingin anak kemenakan mengalami kesulitan lahan untuk tempat tinggal. Karena itu, kami sepakat membangun Huntara di tanah kaum,” ujar Usar Rajo Kacik.
Pembangunan hunian tersebut dilakukan secara gotong royong bersama anak kemenakan dan para relawan. “Kami ingin menunjukkan bahwa kebudayaan dan semangat gotong royong masih hidup dan lestari di Pauh Limo,” katanya. Kini, 11 KK Kaum Suku Tanjuang Pauh Limo telah memiliki tempat tinggal sementara yang aman dan nyaman. Huntara Mandiri Talang juga dilengkapi fasilitas sanitasi, sumber air bersih, aliran listrik PLN, serta akses mudah ke fasilitas pendidikan dan kesehatan. (ADV)









0 Komentar